Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Wednesday, June 10, 2009

Dukungan Sernilai Sebungkus Rokok

Frustrasi. Kira-kira begitulah perasaan sejumlah teman anggota DPR dan aktivis partai yang sekarang menjadi caleg dalam Pemilu 2009 yang nasibnya ditentukan rakyat Kamis (9/4). Hal menonjol dari temuan dalam proses pemilu kali ini ialah tidak adanya korelasi antara perjuangan di parlemen dan aktivitas politik seseorang dengan hasil pemilu. ?Hasil akhir contrengan, ternyata, lebih ditentukan oleh eksekusi akhir dalam bentuk money politics atau yang sejenis. Apakah seseorang selama lima tahun di Senayan bolos atau tidur terus dan atau di sisi lain sangat vokal mengkritik pemerintah, di mata pemilih tidak ada bedanya. Artinya, jika selama kampanye Pemilu 2009 seorang caleg tidak membawa ''gizi'' untuk pemilih, kecil kemungkinan yang bersangkutan mendapatkan dukungan signifikan alias sulit dicontreng. Padahal, banyak di antara gizi itu *sangat murah, khususnya bagi anggota DPR incumbent. Misalnya, sekitar Rp 10.000 atau seharga sebungkus rokok. Tanpa "gizi", jangan harap dipilih, kecuali beberapa orang saja yang masih punya kesadaran moral politik.Beberapa catatan bisa dikemukakan. Seorang caleg incumbent anggota dewan menceritakan kepada saya selama lima tahun membina konstituen di Wonoayu, Sidoarjo. Tiap reses dia datang ke sana, apa saja keluhan masyarakat ditanganinya. Bahkan, ketika warga tiga tahun lalu minta bantuan hand tractor, anggota dewan itu merogoh kantong Rp 18 juta untuk membelikannya. Dengan kata lain, warga di daerah itu sudah relatif diperhatikan. Toh, menjelang pencoblosan Kamis lalu, warga di daerah tersebut membelot setelah anggota dewan itu menolak "uang rokok" Rp 2 juta untuk 400 orang. Penolakan tersebut didasarkan pada prinsip sang anggota dewan yang menolak money politics.Masih ada cerita lain di daerah Sidoarjo. Seorang anggota DPR incumbent bertahun-tahun mendukung sarana pendidikan dan kesehatan di sebuah kecamatan. Dari usaha dan kerja kerasnya, ratusan juta dana mengalir ke masyarakat tersebut dalam bentuk fasilitas pendidikan, kesehatan, dan prasarana lain. Lagi-lagi pada hari pencontrengan, anggota dewan incumbent itu harus gigit jari. Karena menolak money politics, warga masyarakat yang selama ini diurusnya memilih pihak lain yang memberinya uang. Ternyata, dana ratusan juta kalah dengan uang Rp 10.000 atau senilai sebungkus rokok. Lantas, seburuk itukah demokrasi kita? Fakta bahwa politik uang yang menang juga memiliki bukti lain di Sidoarjo. Seorang caleg lokal menggarap 8.000 orang di sebuah kecamatan dengan instruksi jelas, contreng nama caleg lokal tersebut, lainnya diabaikan. Hasilnya mujarab. Caleg yang tidak pernah kampanye tersebut didukung hampir 3.500 suara, sedangkan calon DPR dari partai yang sama hanya dapat maksimum 600-an suara di kecamatan yang sama.Indikator Buruk Pemilu Kamis lalu merupakan pengalaman pertama bagi bangsa Indonesia dengan mencontreng nama caleg, bukan partai. Karena berlomba agar bisa dicontreng paling banyak, para caleg menggunakan berbagai cara halal ataupun haram. Politik uang pun marak. Mereka merasa perlu ''menyuap" rakyat. Padahal, dengan menyuap itu, mereka kelak di Senayan sangat mungkin mencari suap. Tidak akan memedulikan rakyat.Dalam suatu kesempatan, saya pernah membuat kalkulasi perlu tidaknya mencari dana suap untuk menyuap rakyat. Hitungan saya menghasilkan, anggota DPR incumbent tidak perlu cari dana suap untuk menyuap rakyat. Tetapi, cukup tidak memedulikannya selama lima tahun, akan terkumpul dana yang cukup untuk memberi uang rokok dalam pemilu.Hitungannya begini, dengan asumsi sebagai anggota DPR dari Jatim, setiap reses seorang anggota akan memperoleh dana kunjungan ke konstituen Rp 57,5 juta. Setahun ada empat kali reses. Jadi, akan diperoleh Rp 230 juta. Selain itu, setiap dua bulan dapat jatah kunjungan pribadi Rp 10,5 juta. Maka, setahun akan diperoleh 65 juta. Ada lagi dana komunikasi konstituen per bulan sekitar Rp 8 juta atau setahun Rp 96 juta. Jadi, seorang anggota DPR dalam setahun mendapatkan dana minimal Rp 391 juta atau lima tahun Rp 1,95 miliar. Maka, jika didepositokan selama lima tahun, bisa diperoleh dana Rp 2 miliar lebih. Jika seorang pemilih hanya butuh uang rokok Rp 10.000, seorang anggota DPR yang mampu menyuap 200.000 pemilih sangat mungkin bisa mengantarkannya kembali ke Senayan.Saya cukup prihatin membayangkan bahwa kalkulasi saya tadi benar-benar terjadi. Di India, hal demikian terjadi sehingga negara demokrasi paling besar di dunia itu sekarang sering disebut sebagai ritual democracy. Pemilu hanya dilangsungkan untuk melanggengkan politisi busuk. Apakah bangsa kita akan terjerembap pada kondisi yang sama? Saya kira iya. Kalau kita tidak waspada, demokrasi yang kita perjuangkan dengan susah payah direduksi hanya senilai sebungkus rokok.Kondisi buruk tersebut dipacu oleh dua sebab. Panwaslu hanya macan ompong yang tidak bertindak tegas dan pers yang gagal sebagai pengawal demokrasi. Untuk itu, dua lembaga tersebut harus bekerja keras membuktikan bahwa mereka benar-benar bekerja maksimal bagi tegaknya demokrasi.Partai pun harus introspeksi. Jika caleg mereka menang dengan menyuap, bukankah mereka sama saja mengirim calon penerima suap di Senayan? Karena itu, kelak KPK harus kerja ekstrakeras untuk menangkap legislator yang sibuk kerja menutup utang pemilu. Hal lain akibat dari demokrasi yang masih sarat sogok-menyogok tersebut, sangat mungkin kualitas parlemen Indonesia hasil Pemilu 2009 tidak lebih baik daripada periode sebelumnya. Bahkan, mungkin saja lebih buruk.Memang, demokrasi adalah sistem politik yang terbaik, tetapi bisa juga mengakibatkan terjadinya kesalahan fatal. Rakyat yang tidak menerima "gizi" dan "uang rokok" pun akan menerima akibat dari mereka yang menerima suap dari para caleg itu. Saya hanya berharap bahwa ''musibah politik" itu tidak akan berkelanjutan, termasuk dalam pilpres nanti.* Djoko Susilo, wakil ketua FPAN di DPR.Oleh Djoko Susilo/jawa Pos


No comments:

Post a Comment