Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Monday, July 20, 2009

Bisa Ubah Gula Jadi Bahan Peledak

KENDATI masih berstatus mahasiswa semester tujuh Jurusan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Palembang, Sugiarto sudah hafal di luar kepala cara membuat bom. Dengan lancar, pemuda 21 tahun itu menyebutkan komposisi dan campuran bom mautnya. Dia ditangkap dalam sebuah penggerebekan di Palembang pada November 2008. Saat ditangkap, polisi juga mengamankan 20 rangkaian bom yang selesai dirakitnya. Yang membuat miris adalah kemampuannya. Belajar dari seorang ustad di Ambon pada 2006, kemampuan Sugi (panggilan Sugiarto) dalam merakit bom, mengutip seorang anggota polisi, "semudah dia membuat mi instan".Padahal, dalam level JI, kemampuan Sugi masih terbilang dasar. Dalam JI, ada sejumlah nama dengan kemampuan yang jauh di atasnya. Di antaranya, Ali Imron, Ali Fauzi, Mubarak, Dr Azhari, Dulmatin, dan Umar Patek. Kabarnya, nama-nama di atas bisa mengubah gula menjadi sebuah bahan peledak dengan daya ledak cukup besar. ''Hanya satu langkah di bawah TNT daya ledaknya,'' kata seorang mantan anggota JI senior kepada Jawa Pos. Nama-nama di atas memang mendapatkan pelatihan langsung dari kamp pelatihan Mujahidin Afghanistan. Namun, yang paling istimewa adalah Azhari. Hanya dengan melihat saja, Azhari langsung bisa menghitung bahan yang diperlukan sekaligus berapa berat bahan-bahan yang dibutuhkan untuk meruntuhkan sebuah gedung, misalnya. Sementara itu, yang lainnya masih membutuhkan kalkulator. Beruntung, Azhari telah tewas. Namun, sejumlah nama lainnya masih hidup. Beruntung pula, nama-nama legendaris tersebut kini mempunyai penafsiran mengenai ayat-ayat perang dan ayat-ayat damai yang relatif berbeda dengan yang terdahulu. Hanya, orang yang mempunyai kemampuan membuat bom, baik yang expert maupun yang masih baru seperti Sugi, masih banyak. ''Ini tak lepas dari adanya konflik di Poso maupun Ambon. Di situ banyak orang yang mendapatkan pelatihan. Saya tak bisa membayangkan bila ada konflik seperti di Poso lagi,'' kata Ali Fauzi, alumnus kamp Hudaibiyah, yang juga adik kandung Ali Ghufron dan Amrozi (pelaku utama Bom Bali).(ano/kum)
Selengkapnya...

Noordin M. Top, Buron yang Jago Menjaring Kader JI

Diamankan hingga Empat Lapis Semakin kuat saja dugaan bahwa otak di belakang teror bom di JW Marriott dan Ritz-Carlton adalah Noordin Mohd Top. Bagaimana sebenarnya posisinya di jaringan Jamaah Islamiyah (JI)?---Ciri-ciri Noordin yang selama ini dikantongi polisi adalah selalu mengenakan pakaian panjang karena mempunyai sejenis penyakit kulit yang membuat kulit putihnya seperti bersisik dan kudisan, serta bulunya sangat banyak dan panjang. Logatnya khas Melayu dan cedal. ''Boleh jadi, kini logatnya sudah hilang. Tapi, ciri-ciri lainnya masih,'' kata seorang perwira yang telah mengejar buron teroris asal Malaysia selama enam tahun. Beberapa kali Noordin sempat terlacak. Mulai di Palembang, Boyololali, Semarang, dan sejumlah kota di Jawa Tengah lain. Noordin memang paling sering terlihat bergerak di kawasan Jawa Tengah.Menurut sumber tersebut, Noordin sebenarnya tidak terlalu istimewa dalam hal kemiliteran maupun soal bom. Dia cukup jago merekrut meski perwira tersebut mengatakan kepiawaiannya merekrut lebih disebabkan "nama besarnya"."Karir" Noordin Mohd Top dimulai sejak menjadi mahasiswa di UTM (Universiti Teknologi Malaysia). Di sana dia bertemu sang teroris jenius matematika, Dr Azahari. Setelah direkrut Ali Ghufron alias Muklas, Azahari ganti merekrut Noordin. Teroris yang dihargai Rp 1 miliar atas penangkapannya itu kemudian menjalani pelatihan di Kamp Hudaibiyah di Moro, Filipina. Setelah dua tahun menjalani pelatihan, pada 1998, Noordin masuk Indonesia melalui Ternate. Namun, yang mematangkan Noordin adalah konflik Poso dan konflik Ambon. ''Dua konflik itu menjadi sangat "menguntungkan" bagi JI. Ada tempat latihan, simulasi, sekaligus menemukan kader-kader militan,'' lanjutnya. Selanjutnya, pada akhir 1999, Noordin ke Jawa. Di sana dia terlibat proyek pengeboman gereja. Noordin kebagian tugas mengebom serangkaian gereja di Riau. Hasilnya, sukses besar.Selanjutnya, Noordin menjadi kesayangan Dr Azahari. Kesamaan almamater dan kewarganegaraan membuat Azahari begitu dekat dengan Noordin. Ini pula yang kemudian melambungkan nama Noordin. ''Memang kemampuannya masih di atas rata-rata teroris jebolan Poso ataupun Ambon, tapi di level JI, Noordin masih tergolong 'biasa-biasa' saja,'' tuturnya. Namun, Noordin adalah seorang "master" dalam "seni" meloloskan diri. Memburunya sejak lebih dari enam tahun, polisi selalu menangkap angin. Padahal, polisi sudah mempunyai semua yang dibutuhkan untuk bisa menangkapnya. Mulai kemungkinan nomor ponsel, e-mail, hingga frekuensi suaranya pun sudah di-locked. ''Sekali saja suaranya muncul di telepon, akan langsung terlacak,'' lanjutnya. Tapi, Noordin memang bukan teroris kemarin sore. Sejak empat tahun lalu Noordin tak pernah muncul di e-mail atau di saluran telepon. Suami Munfiatun tersebut benar-benar menghindari peranti elektronik. Cara berkomunikasinya pun menjadi manual. Dia pun membangun lapis pengaman. Untuk bisa bertemu dirinya, setidaknya harus melintasi empat kurir berbeda. Sejauh yang diketahui polisi, lapis terakhir sebelum bertemu Noordin adalah Tedi. Nama terakhir itu nyaris ditangkap polisi di kawasan Simpang Lima, Semarang, sesaat setelah penggerebekan Azahari di Batu pada 2005. Tapi, Tedi tetap nekat melawan, menembakkan pistol ke udara, dan kabur dengan naik motor GL Pro. Tedi diduga kuat mengembangkan sel-sel baru untuk melapisi Noordin. Mereka mencari bibit baru untuk dikader menjadi "mujahid". "Operasinya di organisasi Islam garis keras yang rata-rata anggotanya punya ghirah (semangat) beribadah tinggi. Jadi, mudah dibelokkan," katanya.Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Nanan Sukarnan sendiri mengakui bahwa Noordin memang cukup licin. ''Tentu saja, dia (Noordin, Red) masih tetap menjadi daftar teratas buron teror yang kami kejar,'' tandasnya. (ano/rdl/kum)



Selengkapnya...

Membuat Bom Sama Gampangnya dengan Memasak Mi Telur

Jika disebut sebagai organisasi, mungkin Jamaah Islamiyah (JI) sudah nyaris habis. Sebab, banyak tokohnya yang ditangkap. Namun, pecahannya diduga kuat masih ada. Ledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton Jumat lalu (17/7) bisa jadi merupakan bukti eksistensi pecahan JI itu. Seorang perwira di lingkungan Densus 88 Antiteror pernah mengatakan, sebenarnya pihaknya sudah memantau sekitar 30 orang yang diyakini sebagai "calon teroris". ''Gampang saja menangkapnya, karena sudah dilokalisasi. Tapi, buat apa?'' ucapnya. Sasarannya memang yang kelas kakap dan "layak tangkap". Istilahnya membiarkan ikan kecil untuk menangkap ikan besar. Seperti dalam kasus penangkapan di Palembang November 2008. Ketika itu Densus 88 menangkap Abdurrahman Taib, Sugiarto, dan tiga orang lainnya. Mereka adalah "teroris baru", yakni baru saja direkrut dan diajari cara melakukan pengeboman. ''Sebenarnya tak hendak kami tangkap,'' urainya. Dia menerangkan bahwa yang ditunggu adalah Noordin Mohd Top. Waktu itu petugas yakin bahwa Noordin akan datang ke Palembang. ''Jadi, kami sengaja menunggu Noordin datang,'' tambahnya.Namun, perkembangannya sangat mengkhawatirkan. Sugiarto, salah seorang anggota sel baru tersebut, ternyata telah merangkai 20 bom "siap pakai". ''Kami khawatir, bila tidak segera ditangkap, ke-20 rangkaian bom tersebut bakal dikirim ke mana-mana,'' tuturnya. Yang membuat lebih "gelisah", kendati baru direkrut, para anggota muda binaan Noordin Mohd Top tersebut sudah jago membuat bom. Ibaratnya, membuat bom bagi para anggota baru itu sama gampangnya dengan memasak mi telur. Sugiarto, misalnya. Dia hafal di luar kepala soal penggunaan dan pencampuran bahan kimia dan bagaimana memperlakukannya. Celakanya, sel-sel kecil bentukan Noordin dengan kemampuan merakit bom seperti itu diduga masih tersebar.***Sejarah generasi baru para teroris tersebut tak bisa dilepaskan dari kehadiran JI. Bermula ketika sejumlah peserta kamp pelatihan Mujahidin di Afghanistan diminta memilih. Mau bergabung dengan Ustad Abdullah Sungkar atau Ustad Masduki. Sama-sama memperjuangkan NII (negara Islam Indonesia), keduanya berselisih pendapat. Abdullah Sungkar lebih sreg bila perkumpulannya berbentuk organisasi, sedangkan Masduki condong tetap ke bentuk negara. Sebagian jamaah memilih bergabung dengan Ustad Abdullah Sungkar dan kemudian mendirikan Jamaah Islamiyah. Bermoto Iqomatu Khilafah 'Ala Nahji Nubuwah (Mendirikan khilafah yang sesuai dengan sunnah Rasul)", kelompok ini bergerak secara rahasia. ''Kami dulu memang tandzim sirriyyah,'' kata Nasir Abbas, salah seorang mantan anggota JI yang kemudian tak setuju dengan garis perjuangan faksi keras di JI. Para pelopornya adalah Ali Ghufron alias Muklas, Nasir Abbas, Imam Hambali, dan kemudian dibantu "adik kelas" seperti Ali Fauzi, Ali Imron, Mubarak, Kudamar alias Imam Samudera, Dulmatin, Abu Dujana, Umar Patek, dan sejumlah nama lain. Struktur operasionalnya menyesuaikan struktur di zaman pemerintahan Nabi Muhammad SAW, baik sistem maupun namanya. Yakni, mulai tingkatan terbawah: majmu'ah, tashkil, fashil, sariyyah, katibah, dan liwa'. Struktur seperti itu juga diadopsi oleh Brigade Izzudin Al Qassam, sayap militer Hamas. Seiring dengan kembalinya para mujahidin tersebut untuk berdakwah di Indonesia, makin besar pula afiliasi sejumlah internal JI ke Usamah Bin Ladin dan Al Qaedah-nya. Afiliasi ini dilakukan faksi Ali Ghufron dan Imam Hambali. ''Kedua orang itu memang key person untuk masuk jaringan Al Qaedah. Penghubungnya ya kedua orang itu. Bahkan, keduanya punya akses langsung ke Usamah,'' ucap seorang mantan anggota senior JI yang tak mau disebut namanya. Pada 1999, Imam Hambali mendapat desakan dari Al Qaedah untuk melakukan aksi serangan. Selain struktur kewilayahan sudah dirasakan cukup mapan (mempunyai tiga mantiqi atau wilayah dakwah), dana pasokan dari Al Qaedah sudah cukup banyak. Selain itu, Indonesia dianggap sebagai darulharbi, negara yang boleh diperangi. ''Karena di Indonesia banyak kepentingan AS dan sekutunya. Di pikiran mereka (faksi keras JI, Red), saat ini adalah kondisi perang, di mana AS lebih dulu membunuhi penduduk sipil. Jadinya, ini dianggap sebagai alasan sebuah serangan,'' terang Ali Fauzi, alumnus Hudaibiyah yang juga adik kandung Amrozi, pelaku utama bom Bali. Hasilnya, antara 2000-2002, Indonesia diguncang serangkaian pengeboman tanpa pernah terungkap. Mulai pengeboman Istiqlal, pengeboman gereja di sejumlah kota, dan puncaknya adalah bom Bali I pada 12 Oktober 2002. Bom itu kemudian menjadi titik balik kelompok tersebut. Nasir Abbas sendiri menyesalkan hal tersebut. Dia menilainya sebagai sebuah langkah "terburu-buru" (blunder) yang dilakukan Hambali. Berbekal nomor mesin mobil bom bunuh diri itu, Tim Cobra, satgas bom yang khusus dibentuk Mabes Polri untuk mengungkap kasus tersebut, berhasil mengungkap dan menahan sejumlah pentolannya. Dari serangkaian nama yang ditahan, tentu saja yang paling terkenal adalah trio bom Bali yang dieksekusi November 2008 lalu, yakni Ali Ghufron alias Muklas, Amrozi, dan Imam Samudra. Sejumlah nama lain yang ditangkap adalah Ali Imron dan Mubarak. Imam Hambali sendiri kemudian ditangkap pemerintah AS dan kini mendekam di Guantanamo Bay, penjara yang dibangun militer AS khusus untuk kasus terorisme. Kendati sejumlah pentolannya tertangkap, bukan berarti JI langsung lemah. Buktinya, serangkaian serangan bom, seperti di bom JW Marriott I 2003, bom Bali II, dan Kedutaan Australia menunjukkan eksistensi JI. Bahkan, karena sebagian rekannya tertangkap, Abu Dujana, anggota JI yang sebenarnya bukan satu gerbong dengan Ali Ghufron pun mengambil jalan keras. Selain itu, perang melawan terorisme itu memunculkan nama Dr Azahari dan Noordin Mohd Top, dosen-mahasiswa UTM yang memilih jalan radikal. Untuk kedua orang itu, pemerintah Indonesia menyembarakannya dengan hadiah Rp 1 miliar. Azahari sendiri tertembak mati dalam sebuah penggerebekan bom yang diwarnai dengan ledakan bom di Batu, November 2005.Noordin sendiri nyaris tertangkap setelah Tedi (tangan kanan sekaligus lapis terakhir kurir sebelum Noordin, Red) digerebek di Simpang Lima, Semarang. Setelah itu, gelombang penangkapan terhadap sejumlah pentolan JI, di antaranya Abu Dujana dan Ustad Zarkasih alias Mbah, amir JI terakhir yang ditangkap di Sleman, Jogjakarta, membuat JI benar-benar kolaps. Memang masih ada nama Dulmatin dan Umar Patek yang belum ditangkap. Namun, keduanya diduga sudah benar-benar tak tercium keberadaannya. Dulmatin sendiri dikabarkan tewas di Moro, Filipina, dalam sebuah serangan tentara Filipina. Sebuah kabar yang tak pernah bisa dikonfirmasikan kebenarannya. ''Boleh dibilang sudah tinggal nama,'' aku Ali Fauzi. ***Namun, JI ternyata telah beranak dan bercucu. Adalah Noordin yang meneruskannya. Selama dalam pelariannya, Noordin dipercaya telah merekrut dan membentuk majmu'ah-majmu'ah (sel-sel) kecil. Selain itu, sel-sel baru kelompok teroris tersebut menjadi fleksibel. Bahkan, keputusan melakukan serangan bom pun bisa dilakukan hanya dalam tingkat sel. Tak perlu koordinasi dengan Noordin atau sel lain. ''Paling-paling kalau perlu sekadar membantu secara teknis. Itu pun bila bisa bertemu,'' ucap sebuah sumber di kepolisian. Sumber tersebut mengaku kesulitan mendata semua jaringan. Sebab, bisa jadi, sebuah sel aktif hanya sekali bertemu Noordin dan tak pernah bertemu lagi. ''Tak ada yang tahu berapa jumlahnya secara persis, dan mana saja yang aktif,'' tandasnya. (ano/rdl/git/fal/aga/kum)


Selengkapnya...

Nur Hasdi Menghilang Tanpa Kabar Sejak 2001

Ketua Umum Gerakan Umat Islam Indonesia (GUII) Abdurrahman Assegaf, Sabtu lalu (18/7) menyebut nama Nur Hasbi alias Nur Hasdi alias Nur Sahid sebagai pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott. Data yang diungkap Abdurrahman itu bisa jadi benar. Sebab, pria bernama asli Nur Hasdi itu menghilang tanpa kabar berita sejak 2001. Fakta ini terungkap ketika kemarin Radar Semarang (Jawa Pos Group) mendatangi rumah keluarga Nur Hasdi di Desa Katekan, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Kabar bahwa Nur Hasdi menjadi pelaku bom di Jakarta cepat menyebar di desa yang terletak di kawasan timur lereng Gunung Sindoro itu. Di antara tetangga Nur Hasdi, banyak yang belum bisa memercayai kabar tersebut. Keraguan tetangga atas keterlibatan Nur Hasdi itu sangat beralasan. Sebab, mereka mengaku mengenal sosok Nur Hasdi sangat jauh dari kesan pembunuh atau bahkan pengebom. "Orangnya ramah dan baik, Mas, selama tinggal di desa ini. Memang, saya dengar dulu pernah nyantri di pondok. Tapi, kami tidak tahu di mana pondoknya," papar Haryanto, salah satu tetangga Hasdi. Jika tetangga tidak percaya, apalagi ayah Hasdi. "Saya berharap kabar itu keliru," kata Muhammad Nassir, ayah Hasdi, di rumahnya yang sangat sederhana. Pria 60 tahun itu mengaku sangat terpukul dengan kabar yang menyebutkan anaknya menjadi pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott. "Sabtu lalu saya didatangi polisi. Saya sangat kaget," kata bapak enam anak itu. "Saya tidak percaya Hasdi tega melakukan itu," imbuhnya, kali ini dengan kedua mata yang tampak berkaca-kaca. Jika yakin bahwa Hasdi tidak melakukan aksi bom bunuh diri, lantas ke mana perginya pria kelahiran 24 Juli 1974 itu? Nassir mengakui, dia kehilangan kontak dengan anak ketiganya itu sejak 2001. "Sejak itu dia meninggalkan Temanggung bersama istri dan kedua anaknya," ujarnya. "Kabar terakhir, dia berada di Klaten. Namun, setelah saya cari, tidak pernah ketemu. Namun, saya yakin, anakku bukan pelakunya. Dia anak baik kok," tutur pria yang semua rambutnya sudah memutih itu. Dia menambahkan, Nur Hasdi menikah dengan Dwi Pratiwi pada 1999 (menurut Abdurrahman Assegaf, istri Nur Hasdi bernama Ida Parwati), setelah menjalani pendidikan di sebuah pondok pesantren di Temanggung. "Setelah pernikahan itu, dia (Hasdi) tinggal di rumah mertua di Klaten. Sebelum 2001, dia sering pulang ke rumah, apalagi saat Lebaran. Tetapi, setelah itu kami tidak tahu," katanya.Meski tidak tahu keberadaan anak hasil buah perkawinannya dengan Tumini, Nassir terus berusaha mencarinya. Terakhir, dia mengaku pergi ke besannya di Klaten. Namun, lagi-lagi usahanya tidak membuahkan hasil. Menurut keluaga di Klaten, Nur Hasdi pamit pergi ke Semarang untuk berkerja. "Kami mendapat kabar kalau Nur menjadi tukang duplikat kunci di Semarang. Kami mencarinya, tetapi tidak menemukan. Keluarga Klaten juga mengatakan Hasdi tidak pernah pulang," urainya.Udi Masud, salah satu adik Nur Hasdi, membantah bahwa kakaknya terlibat pengeboman. "Saya juga meyakini jika itu bukan kakak saya, apalagi masuk jaringan Jamaah Islamiyah, meski dia pernah nyantri juga di Ngruki," jelasnya sambil menunjukkan foto kakaknya. (mukhtar/jpnn/kum)

Selengkapnya...

Polisi Cocokkan DNA Keluarga Nur Hasdi dengan Potongan Tubuh

JAKARTA - Begitu mendapatkan informasi bahwa pengebom Hotel JW Marriott diduga bernama Nur Hasdi yang berasal dari Desa Katekan, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, langkah cepat langsung ditempuh. Tadi malam dua petugas Laboratorium Forensik Mabes Polri berangkat ke Temanggung. "Kami diperintahkan untuk mencari sampel DNA dari keluarga Nur Hasdi," kata seorang dokter forensik yang bertugas di Mabes Polri kepada Jawa Pos kemarin (19/7). Selanjutnya, sampel DNA keluarga Nur Hasdi dicocokkan dengan DNA potongan kepala dan tubuh yang diduga sebagai pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton."Nanti, kami cocokkan dengan kepala yang di­temukan di Marriott," katanya. Awalnya, Polda Jawa Tengah berupaya mengundang keluarga Nur Hasdi ke Jakarta. "Itu juga diupayakan. Tapi, yang jelas, dua dokter kami sudah berangkat (ke Temanggung, Red)," tutur dia. Setelah didapat, sampel (bisa darah, rambut, atau liur, Red) akan diperiksa dan dicocokkan dengan potongan kepala itu," lanjutnya. Dia mengakui bahwa upaya merekonstruksi dan mencocokkan dengan wajah pengebom sangat rumit. "Kami sudah menerima foto-foto dari Densus 88. Jumlahnya 400-an foto. Di­cocokkan kalau sketsanya jadi," terang dia. Mengapa sketsa tersebut belum juga jadi? Bukankah sudah tiga hari? Menurut dokter polisi yang juga menangani kasus pengeboman Marriott pada Agustus 2003 itu, tingkat kerusakan wajah tersebut sangat parah. "Berbeda dengan 2003, waktu itu dalam dua hari kami sudah bisa perkirakan sketsa wajah pengebom karena lebih utuh," ungkapnya. Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri memang mengungkapkan bahwa kepala milik dua orang yang sangat diduga sebagai pengebom itu rusak berat "Batok kepalanya hancur," ujar Kapolri Jumat lalu (17/7). Apakah Nur Hasdi sudah dinyatakan sebagai tersangka? Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Nanan Soekarna membantah. "Belum ada penetapan nama tersangka. Semua informasi masih ditelusuri," tutur dia kepada Jawa Pos di Media Crisis Centre kemarin. Polisi juga mencocokkan potongan kepala itu dengan rekaman CCTV yang menunjukkan wajah tamu di kamar 1808 Hotel JW Marriott. "Dalam semua rekaman yang ada, orang yang dicurigai selalu bertopi. Dalam beberapa frame, dia menggunakan kacamata hitam. Jelas sekali dia sadar terekam CCTV," papar sumber Jawa Pos di Mabes Polri. Menurut sumber itu, pengebom Marriott diduga sudah berlatih dan melakukan simulasi tata cara menginap di hotel berbintang lima. "Itu teroris necis. Kalaupun dia orang lama, jelas ada mentor yang mengajarkan prosedur check-in di hotel dan sebagainya," tegasnya. Pengebom juga tak canggung menggunakan travel bag dan paham benar prosedur menginap di hotel eksklusif. Di bagian lain, kemarin para petinggi Bareskrim Mabes Polri rapat maraton di Mabes Polri. Rapat itu dipimpin langsung oleh Kabareskrim Komjen Susno Duadji. Hadir dalam rapat tersebut Kepala Pusat Identifikasi Brigjen Bekti Suwarno dan Kadensus 88 Brigjen Saut Usman Nasution. "Satu pintu, melalui humas," ujar Bekti saat dikonfirmasi Jawa Pos tentang hasil rapat tadi malam. Sumber Jawa Pos menjelaskan, dalam rapat itu Susno meminta seluruh penyidik mempercepat kerja. "Tak boleh ada HP mati," ucapnya menirukan Susno. Susno juga meminta setiap tiga jam ada laporan terbaru dari penyidikan. "Kalau ada indikasi awal, langsung follow up. Jangan remehkan setiap informasi," tegasnya menirukan Susno lagi. Saksi Pusing Lihat Foto Hingga tadi malam (19/7) penyidik Densus 88 Mabes Polri masih memeriksa para saksi mata secara intensif. Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Nanan Soekarna menjelaskan, total 35 saksi telah diperiksa. ''Jumlahnya mungkin masih bertambah,'' katanya. Sumber kuat Jawa Pos menuturkan, empat saksi kunci hingga kemarin masih diisolasi di sebuah kamar Hotel Ritz-Carlton. ''Mereka adalah orang-orang yang kami nilai paling tahu soal kemungkinan pelaku (bom bunuh diri),'' ujar sumber tersebut. Empat saksi itu adalah dua resepsionis hotel dan dua petugas security. ''Kami juga memperoleh kopi identitas dan keterangan tentang check in tamu kamar 1808 dari pengakuan mereka,'' tuturnya. Sumber itu tidak mau menyebut identitas mereka dengan alasan keamanan penyidikan. ''Mereka bisa terancam,'' lanjutnya. Karena diburu waktu, penyidik akhirnya menyodorkan foto 460 aktivis Jamaah Islamiyah (JI) yang dimiliki Densus 88. ''Mereka mengaku pusing, bingung, dan lupa,'' katanya. Padahal, polisi juga memboyong ahli sketsa bom ke ruang pemeriksaan di Hotel Ritz-Carlton. Sebanyak 460 foto itu hasil pengumpulan lapangan selama sembilan tahun. ''Kalau mereka menunjuk salah satu gambar, ini akan sangat membantu,'' ucap sumber tersebut. Selain empat saksi tersebut, penyidik memeriksa para pegawai kedua hotel. ''Kami juga akan minta keterangan dari para tamu, terutama tamu Hotel JW Marriott,'' terangnya. Kamar 1808 yang diduga sebagai pos perencanaan bom bunuh diri diteliti ulang kemarin. Sebelumnya, di kamar itu ditemukan skema, sebuah ponsel, dan bom rakitan yang disimpan dalam tas laptop (Jawa Pos, 18/7). Kondisi kamar itu masih acak-acakan kemarin. ''Masih dibiarkan se­perti awal,'' katanya. Irjen Pol Nanan Soekarna menjelaskan, temuan terkait kamar 1808 terus dikembangkan. ''Nomor ponsel itu bagian dari penyelidikan,'' kata Nanan.Seorang pegawai Hotel JW Marriott yang kemarin diperiksa menjelaskan, sebelum insiden bom, lantai 18 mayoritas dihuni warga asing. ''Saya juga belum pernah masuk ke (kamar) 1808 karena terpasang tanda Don't Disturb di pintu,'' katanya saat dicegat Jawa Pos di depan Hotel Ritz-Carlton. Lalu, dari mana Anda tahu lantai 18 dihuni orang asing? Pria berusia 20 tahunan itu mengaku berkali-kali melihat penghuni kamar-kamar selain 1808. ''Tadi saya juga ditanya apakah pernah bertemu penghuni 1808. Saya jawab tidak pernah sama sekali,'' katanya sambil buru-buru permisi karena tangannya digamit rekannya. ''Maaf Mas, kami tak boleh banyak omong sama manajemen (hotel),'' tambahnya.Sumber Jawa Pos di Mabes Polri menjelaskan, selain saksi di Hotel Marriott dan Ritz-Carlton, penyidik memeriksa CCTV (closed circuit television) Jalan Lingkar Mega Kuningan. ''Kami tetap mencari kemungkinan ada mobil yang dropping tamu, lalu pergi,'' katanya. Daftar mobil yang saat itu berada di basemen Ritz-Carlton dan JW Marriott juga sudah diperiksa. Mabes Polri juga mengirimkan tim penyidik ke Singapura untuk mengembangkan informasi. Nanan tidak membenarkan, tapi juga tidak membantah. ''Apa pun langkah yang dianggap perlu oleh penyidik akan dilakukan,'' ujarnya.(rdl/ano/git/fal/dwi/kum)


Selengkapnya...